Jihad Dalam Islam
JIHAD DALAM ISLAM
Oleh
Ibnul Qoyyim Rahimahullah
Jihad merupakan tulang punggung dan kubah Islam. Kedudukan orang-orang yang berjihad amatlah tinggi di surga, begitu juga di dunia. Mereka mulia di dunia dan di akhirat. Rasulullah adalah orang yang paling tinggi derajatnya dalam jihad. Beliau telah berjihad dalam segala bentuk dan macamnya. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad, baik dengan hati, dakwah, keterangan (ilmu), pedang dan senjata. Semua waktu beliau hanya untuk berjihad dengan hati, lisan dan tangan beliau. Oleh karena itulah, beliau amat harum namanya (di sisi manusia-pent) dan paling mulia di sisi Allah.
Allah memerintahkan beliau untuk berjihad semenjak beliau diutus sebagai Nabi, Allah berfirman
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ نَّذِيْرًا ۖ – فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا
“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqon/25 : 51-52]
Surat ini termasuk surat Makiyah yang didalamnya terdapat perintah untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan hujjah dan keterangan serta menyampaikan Al-Qur’an. Demikian juga, jihad melawan orang-orang munafik dengan menyampaikan hujjah karena mereka sudah ada dibawah kekuasaan kaum muslimin, Allah ta’ala berfirman :
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۗوَمَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” [At-Taubah/9 : 73]
Jihad melawan orang-orang munafik (dengan hujjah-pent) lebih sulit daripada jihad melawan orang-orang kafir (dengan pedang-pent), karena (jihad dengan hujjah-pent) hanya bisa dilakukan orang-orang khusus saja yaitu para pewaris nabi (ulama). Yang bisa melaksanakannya dan yang membantu mereka adalah sekelompok kecil dari manusia. Meskipun demikian, mereka adalah orang-orang termulia di sisi Allah.[2]
Termasuk semulia-mulianya jihad adalah mengatakan kebenaran meski banyak orang yang menentang dengan keras seperti menyampaikan kebenaran kepada orang yang dikhawatirkan gangguannya. Oleh karena inilah, para Rasul -sholawatullahi ‘alaihim wa salaamuhu- termasuk yang paling sempurna
Jihad melawan musuh-musuh Allah diluar (kaum muslimin) termasuk cabang dari jihadnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri (hawa nafsu) di dalam ketaatan kepada Allah, sebagaimana yang disabdakan Nabi :
“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya dalam mentaati Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah” [Hadits Riwayat Ahmad dan sanadnya jayyid/baik]
Oleh sebab itu, jihad terhadap diri sendiri lebih didahulukan daripada jihad melawan orang-orang kafir dan hal tersebut merupakan pondasinya. Seorang hamba jika tidak berjihad terhadap dirinya sendiri dalam mentaati perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang dengan ikhlas karena-Nya, maka bagaimana mungkin dia bisa berjihad melawan orang-orang kafir[3]. Bagaimana dia bisa melawan orang-orang kafir sedangkan musuh (hawa nafsu) nya yang berada disamping kiri dan kanannya masih menguasainya dan dia belum berjihad melawannya karena Allah. Tidak akan mungkin dia keluar berjihad melawan musuh (orang-orang kafir) sehingga dia mampu berjihad melawan hawa nafsunya untuk keluar berjihad.[4]
Kedua musuh itu adalah sasaran jihad seorang hamba. Tapi masih ada yang ketiga, yang dia tidak mungkin berjihad melawan keduanya kecuali setelah mengalahkan yang ketiga ini. Dia (musuh yang ketiga ini) selalu menghadang, menipu dan menggoda hamba agar tidak berjihad melawan hawa nafsunya. Dia senantiasa mengambarkan kepada seorang hamba bahwa berjihad melawan hawa nafsu amatlah berat dan harus meninggalkan kelezatan dan kenikmatan (dunia). Tidak mungkin dia berjihad melawan kedua musuhnya tadi kecuali terlebih dahulu berjihad melawannya. Oleh karenanya, jihad melawannya adalah pondasi dalam berjihad melawan keduanya. Musuh yang ketiga itu adalah setan, Allah ta’ala berfirman :
اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّ
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu)” [Faathir/35 : 6]
Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh merupakan peringatan agar (seorang hamba) mengerahkan segala kekuatan dalam memeranginya, karena musuh tersebut tidak pernah lelah dan lemah untuk menyesatkan manusia sepanjang masa.
(Kemudian beliau berkata -pent) Jika hal diatas sudah dimengerti maka jihad terbagi menjadi empat tahapan [5]:
1. Jihad melawan diri sendiri (hawa nafsu), dan hal ini terbagi lagi menjadi empat tingkatan.
a. Berjihad dalam menuntut ilmu agama yang tidak akan ada kebahagiaan di dunia dan di akhirat kecuali dengannya. Barangsiapa yang ketinggalan ilmu agama maka dia akan sengsara di dunia dan di akhirat.
b. Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang dia pelajari, karena ilmu tanpa amal jika tidak memadharatkannya, minimal ilmunya tidak bermanfaat.
c. Berjihad dalam dakwah (menyeru manusia) kepada ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada yang tidak tahu. Jika tidak, maka dia termasuk orang yang menyembunyikan ilmu yang telah diturunkan Allah dan tidak akan bermanfaat ilmunya serta dia tidak akan selamat dari adzab Allah.
d. Berjihad dalam bersabar menghadapi rintangan di jalan dakwah serta gangguan manusia karena Allah.
Jika seorang hamba telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, maka dia tergolong Robbaaniyyiin (orang-orang Robbani). Para salaf dahulu telah sepakat bahwa seorang alim tidak bisa dikatakan Robbani hingga dia tahu kebenaran, lalu mengamalkan dan mengajarkannya. Barangsiapa yang mengetahui (kebenaran) lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya, maka dia akan tersanjung dikalangan para penghuni langit.
2. Jihad melawan setan, dan hal ini terbagi menjadi 2 bagian :
a. Berjihad dalam menolak syubhat (kerancuan) dan keraguan dalam keimanan
b. Berjihad dalam menolak bisikan syahwat Jihad yang pertama akan melahirkan keyakinan dan jihad yang kedua akan menghasilkan kesabaran Allah ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ اَىِٕمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوْاۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah/32 : 24]
Allah ta’ala mengkabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama dapat diperoleh hanya dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran dapat menolak nafsu syahwat serta keinginan jelek sedangkan keyakinan bisa menolak keraguan serta kerancuan.
3. Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik. Hal ini meliputi empat hal : jihad dengan hati, lisan, harta dan jiwa raga. Berjihad melawan orang-orang kafir lebih dikhususkan dengan tangan dan berjihad melawan orang-orang munafik lebih dikhususkan dengan lisan.
4. Jihad melawan orang-orang dzolim, ahli bid’ah, dan pembuat kemungkaran. Hal ini memiliki tiga tahapan. Dengan tangan bila mampu, jika tidak maka pindah dengan lisan dan jika tidak mampu juga maka dengan hati.
Inilah tiga belas tahapan dalam jihad dan (Barangsiapa yang mati dan tidak berjihad serta tidak pernah membisikkan dalam dirinya untuk berjihad maka dia mati dalam cabang kemunafikan) [6]
Dan tidak akan sempurna jihad melainkan dengan hijrah dan tidak ada hijrah serta jihad tanpa keimanan [7]. Orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang-orang yang menjalankan ketiga hal tersebut, Allah ta’ala berfirman.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqoroh/2 : 218]
Sebagaimana keimanan adalah kewajiban bagi setiap orang, maka diwajibkan pula kepada mereka dua hijrah di setiap saat :
1. Berhijrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, ikhlas, bertobat, tawakkal, mengharap, dan cinta kepada-Nya.
2. Berhijrah kepada Rasul-Nya dengan mengikuti sunnah beliau, tunduk kepada perintah beliau, membenarkan kabar yang beliau sampaikan serta mendahulukan perintah beliau daripada perintah yang lainnya. Nabi bersabda yang artinya :
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ”
“Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah kepada dunia atau perempuan yang hendak dinikahinya maka hijrohnya kepada apa yang dia niatkan“.[8]
Perintah untuk jihad melawan hawa nafsu dalam mentaati Allah dan jihad melawan setan adalah fardhu ain yang tidak bisa diwakilkan kepada seorangpun. Adapun jihad melawan orang-orang kafir dan munafik adalah fardhu kifayah.
(Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khoiril Ibaad 3/5 – 11, Ibnul Qoyyim Rahimahullah)
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakirah Al-Islamiyyah Edisi 17 ThIV/Dzulqa’dah 1426H/Desember 2005M. Penerjemah Abu Abdirrahman bin Thayyib As-Salafy Lc, Diterbitkan Oleh Ma’had Ali-Al-Irsyad Surabaya, Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
________
Footnote
[1]. Kami terjemahkan dari kitab “Zaadul ma aad fii hadyi khoiril ibaad” 3/5-11 oleh Ibnul Qoyyim, tapi ada sebagian yang kami anggap tidak perlu diterjemahkan (hal 6-8) agar tidak terlalu panjang. Dan kami hadiahkan terjemahan ini kepada mereka yang selalu meneriakkan kata jihad dengan senjata (pengeboman), yang senantiasa mengajak umat untuk memberontak penguasa dengan nama jihad, yang menuduh para ulama Dakwah Salafiyah tidak berjihad dan menihilkan jihad. Insya Allah pada edisi berikutnya kita akan membahas tentang kaidah-kaidah dalam berjihad agar jihadnya seorang muslim didasari oleh ilmu bukan hawa nafsu maupun kejahilan yang diiringi semangat yang terlalu menggebu hingga lebih banyak merusak daripada membangun, seperti yang dikatakan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia banyak merusak daripada memperbaiki” (pent)
[2]. Dari keterangan Ibnul Qoyyim v ini, masihkah ada orang yang mencela dan mencaci maki para ulama, karena mereka belum pernah mengangkat pedang dan hanya bisa mengajarkan Al-Qur’an dan sunnah di masjid-masjid ??? Ataukah justru mereka akan menvonis bahwa Ibnul Qoyyim menihilkan jihad ? (pent)
[3]. Diantaranya dengan berjihad menuntut ilmu agama yang benar sesuai dengan pemahaman salafush sholeh serta menghilangkan kebodohan dalam dirinya terutama dalam masalah aqidah. (pent)
[4]. Adapun hadits yang berbunyi “Kita telah kembali dari jihad kecil kepada jihad besar” maka hadits ini tidak shohih. Lihat “Kasyful khofa “1/424. (pent)
[5]. Dari sini terlihat jelas kesalahan sebagian orang yang hanya menyempitkan arti jihad dengan jihad melawan orang-orang kafir dengan senjata. (pent)
[6].Hadits Riwayat .Muslim (1910).
[7]. Tidakkah mereka yang selalu mengembar-ngemborkan jihad melawan orang-orang kafir Yahudi maupun Nashoro memahami hal ini ? Mereka menyeru umat untuk berjihad siang dan malam sedangkan banyak dari umat Islam ini yang masih rusak aqidah dan keimanannya. Akankah mereka terus meneriakkan jihad di tengah kaum muslimin sedangkan kesyirikan, penyembahan terhadap wali-wali, sunan-sunan serta kyai-kyai yang telah meninggal di pelupuk mata mereka ??? Apakah mereka sengaja menutup mata ? Mengapa mereka tidak mau dan enggan untuk memulai dan menfokuskan dakwah mereka terlebih dahulu kepada dakwah Tauhid dan memberantas kesyirikan seperti yang dilakukan Rasulullah ? Apakah mereka menganggap metode yang mereka jalankan lebih baik dari metode dakwahnya Rasul dan para rasul-rasul lainnya ??? (pent)
[8]. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1811-jihad-dalam-islam.html